Kulihat pasien disebelahku, kedua orang tua anak itu ada disampingnya, ayah dan ibunya menemaninya dan menjanganya. Betapa beruntungnya anak itu. Aku rasa wajahku mulai kusut melihatnya, aku iri, tapi ayahku bilang, jangan sesekali menentang takdir, mungkin itu yang terbaik. Akan kutahan rasa iriku. Tiba-tiba langit berubah menjadi mendung, entah mengapa, aku tak tahu.
Kupalingkan pandanganku pada 2 orang yang masuk ke kamarku. "Ka Mira! Kakak baik- baik aja kan? Kenapa kaki kakak, kok diperban?", suara itu! Sudah lama aku ingin dengar suara imut itu, yaa, itu suara adikku, Farah. "Kamu ga kenapa-kenapa kan, Nak?", kali ini suara ayah. Senang bisa mendengar dan melihat mereka disini, tapi, 2 pertanyaan itu rasanya sulit untuk kujawab. Kuputuskan untuk diam. Suster itu menoleh ke arahku, ayah dan Farah. Ia menjawab 2 pertanyaan itu yang mungkin mereka tidak percaya. Ayah tersentak mendengarnya.
Tidak lama kemudian, Farah membantuku untuk berdiri dengan tongkat. Kuharap kaki kiriku ini kuat untuk berjalan pulang. Jarak rumah sakit ke rumahku lumayan jauh, jadi kami perlu naik transportasi, lebih tepatnya, angkot. Kami berjalan melewati rumah sakit yang sejuk karena tanaman hijau disekelilingnya.
Aku ingin ibu disini, bersama ayah dan Farah menjemputku. Aku rindu masa kecilku bersama ibu. Aku rindu suapan makan darinya, aku rindu masakannya, pelukan hangat seperti pelukan beruang saatku sedih, alunan merdu saat aku gelisah dan susah tidur, belaian lembut dari tangan sucinya, aku rindu canda tawa bersamanya.
Dua tahun setelah kepergian ibu, setiap detik yang berubah menjadi menit. Setiap menit yang berubah menjadi jam, jam menjadi hari, hari menjadi pekan, pekan ke bulan, hingga bulan menjadi tahun, sekali saja, Tuhan, aku ingin rasakan ibu ada di sampingku. Aku ingin menopangkan kepalaku di pundaknya, aku ingin rasakan belaian tangannya, pelukan hangatnya. Tuhan, kirimkan salam terhangatku untuknya.
Setetes air mataku jatuh dan mengenai tangan mungil Farah yang menuntunku. "Ayah, gerimis yaa, Yah?", tanyanya polos. Ayah mendongakkan kepalanya ke atas dan menoleh ke arahku. "Miraa, kamu kenapa, Nak?", tanya Ayah. Aku hanya tersenyum. Farah refleks menoleh ke arahku, lalu ia menarikku untuk duduk di bawah pohon rindang. Farah memelukku dengan erat. Tangan mungilnya mengusap air mataku, lalu ia lemparkan senyum manisnya sebagai pelipur laraku. Cara yang mujarab. Langit yang sebelumnya mendung, kembali cerah seolah melihatku tersenyum.
-------------------TO BE CONTINUED!-------------------
Created by: Aisyah Nuraeni
0 komentar:
Posting Komentar