Alhamdulillah, ada kesempatan menulis lagi di blog ini.
Rasanya senang sudah melewati beberapa kertas LJK dan senang karena tangan
tidak lagi lelah hanya karena membulatkan pilihan jawaban, kebal sudah. Malam
ini, tepatnya 1 Juni, saya akan menulis, bercerita sedikit tentang apa yang
merasuki pikiran saya, sebulan belakangan. Bertanya-tanya sendiri, hanya dalam
hati. Berdesir hati saat bergumam. Kelu rasanya kalau dituangkan secara lisan.
Terlalu rumit.
Saya terus bertanya “mengapa?”, ke beberapa teman saya, yang
saya anggap bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Mau tau pertanyaannya?
Ah, rahasia, nanti juga bisa menebak apa pertanyaannya. Toh, sekarang saya akan
menjawab pertanyaan saya sendiri. Seperti kata guru saya, “sebenarnya kalau
kamu bertanya tentang opini, kamu sudah punya jawaban sendiri, kan?”. Ah ya,
gotcha.
Saya kira semua orang tua sama. Hm, spesifiknya, semua orang
tua menyayangi anaknya. Ah, rasanya kata sayang di sini terlalu universal. Saya
kira, semua orang tua memperhatikan, mendidik, dan mencintai anaknya, just
like my parents do. Saya mulai paham, ketika melihat lagi lebih jauh,
memberi perhatian lebih luas secara tidak langsung. Saya melihat teman-teman
saya, yang sejatinya memang dari berbagai daerah, berbagai keluarga, dan
berbagai pula karakternya.
Menurut pelajaran yang saya pelajari, tepatnya sosiologi,
ada 2 pola sosialisasi keluarga, yakni partisipatoris dan represif. Partisipatoris
menekankan hubungan antara orang tua dan anak yang harmonis, saling bertukar
pandangan, dan orang tua melakukan pengawasan dengan cara yang membuat anak
merasa nyaman, tidak telalu strike dan membuat anak ingin memberontak atau
malah melakukan kekerasan seperti pola represif. Hah, saya beruntung punya sedikit
ilmu tentang sosialisasi, alhamdulillah. Keluarga yang notabenenya memang
menjadi media sosialisasi primer, seharusnya menjalankan sosialisasi itu dengan
baik. Karena, bagaimanapun juga sosialisasi primerlah yang menjadikan seorang
anak merasa diakui di dalam lingkungannya. Keluarga seharusnya sebagai media
pertama yang menerapkan nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat kepada
anak. Apalagi dalam play stage atau tahap bermain dalam masa
pembentukkan kepribadian. Dalam tahap tersebut, seorang anak perlu diterapkan
nilai dan norma yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat agar tercipta masyarakat yang harmonis tanpa penyimpangan sosial
yang diakibatkan oleh kurang atau bahkan salah sosialisasi.
Setiap orang tua memang memiliki cara masing-masing dalam
mendidik anaknya. Apapun akan dilakukan untuk membuat anaknya senang. Ya,
asalkan anaknya senang. Meskipun keadaan ekonomi memaksa atau kesehatan yang
datang dan pergi. Ah, sayangnya orang tua seperti itu. Memanjakan anaknya tanpa
memberi tahu kepada anaknya apa yang sebenarnya dialami. Tetap membelikan
barang-barang branded yang jelas sekali mahalnya dengan kartu kredit atau berusaha
meminjam uang teman atau malah mengais-ngais belas kasihan dari keluarga
terdekat. Duh, sungguh disayang anak itu. Tapi, entah, menurut saya itulah hal
yang amat memprihatinkan.
Menurut saya, seorang anak harusnya dibiasakan dengan
keadaan sederhana. Jika memang dari keluarga kaya, ingatkan juga kepada si
anak, bahwa roda akan terus berputar, tidak selamanya yang kaya akan menjadi
kaya. Lagipula, terkadang kekayaan bisa menjadi cobaan. Cobaan ketika memiliki
banyak harta sedangkan tetangga di sebelah rumah sedang menahan lapar dengan
puasa. Cobaan ketika memiliki banyak harta dan berjalan dengan angkuhnya
mengangkat dagu atau berdiri tegak dengan tangan di pinggang. Cobaan.
Sudah jam 10._. Lanjut besok yaJ