You are awesome.

Senin, 01 Juni 2015

Kali ini Bukan Pelajaran Sekolah

Alhamdulillah, ada kesempatan menulis lagi di blog ini. Rasanya senang sudah melewati beberapa kertas LJK dan senang karena tangan tidak lagi lelah hanya karena membulatkan pilihan jawaban, kebal sudah. Malam ini, tepatnya 1 Juni, saya akan menulis, bercerita sedikit tentang apa yang merasuki pikiran saya, sebulan belakangan. Bertanya-tanya sendiri, hanya dalam hati. Berdesir hati saat bergumam. Kelu rasanya kalau dituangkan secara lisan. Terlalu rumit.
Saya terus bertanya “mengapa?”, ke beberapa teman saya, yang saya anggap bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Mau tau pertanyaannya? Ah, rahasia, nanti juga bisa menebak apa pertanyaannya. Toh, sekarang saya akan menjawab pertanyaan saya sendiri. Seperti kata guru saya, “sebenarnya kalau kamu bertanya tentang opini, kamu sudah punya jawaban sendiri, kan?”. Ah ya, gotcha.
Saya kira semua orang tua sama. Hm, spesifiknya, semua orang tua menyayangi anaknya. Ah, rasanya kata sayang di sini terlalu universal. Saya kira, semua orang tua memperhatikan, mendidik, dan mencintai anaknya, just like my parents do. Saya mulai paham, ketika melihat lagi lebih jauh, memberi perhatian lebih luas secara tidak langsung. Saya melihat teman-teman saya, yang sejatinya memang dari berbagai daerah, berbagai keluarga, dan berbagai pula karakternya.
Menurut pelajaran yang saya pelajari, tepatnya sosiologi, ada 2 pola sosialisasi keluarga, yakni partisipatoris dan represif. Partisipatoris menekankan hubungan antara orang tua dan anak yang harmonis, saling bertukar pandangan, dan orang tua melakukan pengawasan dengan cara yang membuat anak merasa nyaman, tidak telalu strike dan membuat anak ingin memberontak atau malah melakukan kekerasan seperti pola represif. Hah, saya beruntung punya sedikit ilmu tentang sosialisasi, alhamdulillah. Keluarga yang notabenenya memang menjadi media sosialisasi primer, seharusnya menjalankan sosialisasi itu dengan baik. Karena, bagaimanapun juga sosialisasi primerlah yang menjadikan seorang anak merasa diakui di dalam lingkungannya. Keluarga seharusnya sebagai media pertama yang menerapkan nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat kepada anak. Apalagi dalam play stage atau tahap bermain dalam masa pembentukkan kepribadian. Dalam tahap tersebut, seorang anak perlu diterapkan nilai dan norma yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat agar tercipta masyarakat yang harmonis tanpa penyimpangan sosial yang diakibatkan oleh kurang atau bahkan salah sosialisasi.
Setiap orang tua memang memiliki cara masing-masing dalam mendidik anaknya. Apapun akan dilakukan untuk membuat anaknya senang. Ya, asalkan anaknya senang. Meskipun keadaan ekonomi memaksa atau kesehatan yang datang dan pergi. Ah, sayangnya orang tua seperti itu. Memanjakan anaknya tanpa memberi tahu kepada anaknya apa yang sebenarnya dialami. Tetap membelikan barang-barang branded yang jelas sekali mahalnya dengan kartu kredit atau berusaha meminjam uang teman atau malah mengais-ngais belas kasihan dari keluarga terdekat. Duh, sungguh disayang anak itu. Tapi, entah, menurut saya itulah hal yang amat memprihatinkan.
Menurut saya, seorang anak harusnya dibiasakan dengan keadaan sederhana. Jika memang dari keluarga kaya, ingatkan juga kepada si anak, bahwa roda akan terus berputar, tidak selamanya yang kaya akan menjadi kaya. Lagipula, terkadang kekayaan bisa menjadi cobaan. Cobaan ketika memiliki banyak harta sedangkan tetangga di sebelah rumah sedang menahan lapar dengan puasa. Cobaan ketika memiliki banyak harta dan berjalan dengan angkuhnya mengangkat dagu atau berdiri tegak dengan tangan di pinggang. Cobaan.

Sudah jam 10._. Lanjut besok yaJ

0 komentar:

Posting Komentar