You are awesome.

Kamis, 08 Januari 2015

Indonesia Pada Masa Praaksara

ZAMAN BATU

Zaman batu dimulai kurang lebih pada tahun 590.000 SM. Peralatan yang digunakan oleh manusia pada zaman ini terbuat dari batu. Itulah sebabnya zaman ini disebut zaman batu. Zaman batu dibagi menjadi 4. Berikut urutannya dan peninggalan-peninggalan dari zaman batu : 

1. PALEOTHIKUM ( ZAMAN BATU TUA)

Kapak Perimbas yang pertama kali ditemukan oleh Von Koenigswald di Pacitan, pada tahun 1935. Selain di Pacitan, kapak perimbas juga ditemukan di beberapa daerah di Indonesia lainnya, seperti di Sukabumi (Jawa Barat), Gombong (Jawa Tengah), Lampung, dan Bali.

Kapak Genggam yang digunakan untuk menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.



Pithecantropus Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia, Erectus berjalan tegak) ditemukan di daerah Trinil, pinggir Bengawan Solo, dekat Ngawi, tahun 1891 adalah manusia purba yang hidup di zaman Paleothikum, manusia pada zaman ini hidup dengan berburu dan meramu (food gathering). Laki-laki memburu hewan untuk dijadikan makanan, dan perempuan yang mengolahnya menjadi makanan. Fosil lainnya yang ditemukan adalah Pithecanthropus Majokertensis (foto sebelah kanan), ditemukan di daerah Mojokerto dan Pithecantropus Soloensis ditemukan di Solo.

2. MESOZOIKUM ( ZAMAN BATU TENGAH MADYA )

Ilustrasi gambar di atas menggambarkan manusia yang hidup di zaman mesozoikum berburu makanan, sama seperti kebiasaan manusia pada zaman sebelumnya, paleothikum.


 

Ilustrasi di atas menggambarkan manusia pada zaman mesozoikum tinggal di gua-gua atau yang biasa disebut dengan Abris Sous Roche.





Mata panah biasa disebut pipisan. Pipisan adalah salah satu alat yang digunakan oleh manusia pada zaman mesolithikum. Pipisan ini digunakan untuk mengupas makanan dan menghaluskan cat merah (berasal dari tanah merah).

3. NEOLITHIKUM ( ZAMAN BATU MUDA) 



Neolithikum merupakan suatu masa di mana alat-alat kehidupan manusia dibuat dari batu yang sudah dihaluskan, serta bentuknya lebih sempurna dari zaman sebelumnya. Gambar yang sebelah kiri merupakan gambar dari kapak persegi yang terbuat dari batu kalsedon. Gambar yang sebelah kanan merupakan gambar dari kapak lonjong yang juga terbuat dari batu. Kapak lonjong berukuran besar dinamakan walzenbeil, sedangkan yang berukuran kecil dinamakan kleibeil.



Pada zaman neolithikum, manusia yang hidup pada zaman tersebut hidup dengan tidak lagi terlalu sering berpindah tempat tinggal atau yang biasa disebut semi-sedenter ( mulai menetap ). Tetapi kebanyakan dari mereka masih bertahan hidup di dekat sungai atau laut sebagai sumber air. Mereka hidup dengan berkelompok yang terdiri dari banyak keluarga.



4. MEGALITHIKUM ( ZAMAN BATU BESAR )

Megalitikum merupakan kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan monumental yang terbuat dari batu-batu besar. Bangunan megalitikum ini dipergunakan sebagai sarana untuk menghormati dan pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang. Peninggalan megalitikum hampir menyebar di seluruh wilayah nusantara, bahkan sampai sekarang pun masih ditemukan tradisi megalitikum seperti di Pulau Nias, Sumba, Flores, dan Toraja. Hasil-hasil kebudayaan zaman batu besar adalah sebagai berikut:
a. Menhir
Istilah menhir diambil dari bahasa Keltik dari kata men (batu) dan hir (panjang). Menhir biasanya didirikan secara tunggal atau berkelompok sejajar di atas tanah. Diperkirakan benda prasejarah ini didirikan oleh manusia prasejarah untuk melambangkan phallus, yakni simbol kesuburan untuk bumi. Menhir adalah batu yang serupa dengan dolmen dan cromlech, merupakan batuan dari periode Neolitikum yang umum ditemukan di Perancis, Inggris, Irlandia, Spanyol dan Italia. Batu-batu ini dinamakan juga megalith (batu besar) dikarenakan ukurannya. Mega dalam bahasa Yunani artinya besar dan lith berarti batu. Para arkeolog mempercayai bahwa situs ini digunakan untuk tujuan religius dan memiliki makna simbolis sebagai sarana penyembahan arwah nenek moyang. Tak hanya di luar negeri, Indonesia juga bisa ditemukan menhir, beberapa diantaranya adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Untuk mengetahui bentuk-bentuk menhir, Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu bentuk saja karena bangunan menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang.

b.       Punden Berundak-undak
Kata "punden" (atau pundian) berasal dari bahasa Jawa. Kata pepunden yang berarti "objek-objek pemujaan" mirip pengertiannya dengan konsep kabuyutan pada masyarakat Sunda. Dalam punden berundak, konsep dasar yang dipegang adalah para leluhur atau pihak yang dipuja berada pada tempat-tempat tinggi (biasanya puncak gunung). Istilah punden berundak menegaskan fungsi pemujaan atau penghormatan atas leluhur, tidak semata struktur dasar tata ruangnya. Punden berundak atau teras berundak adalah struktur tata ruang bangunan yang berupa teras atau trap berganda yang mengarah pada satu titik dengan tiap teras semakin tinggi posisinya. Struktur ini kerap ditemukan pada situs kepurbakalaan di Nusantara, sehingga dianggap sebagai salah satu ciri kebudayaan asli Nusantara. Struktur dasar punden berundak ditemukan pada situs-situs purbakala dari periode kebudayaan Megalit-Neolitikum pra-Hindu-Buddha masyarakat Austronesia, meskipun ternyata juga dipakai pada bangunan-bangunan dari periode selanjutnya, bahkan sampai periode Islam masuk di Nusantara. Punden Berundak pada zaman megalitik selalu bertingkat tiga yang mempunyai makna tersendiri. Tingkat pertama melambangkan kehidupan saat masih dikandungan ibu, tingkat kedua melambangkan kehidupan didunia dan tingkat ketiga melambangkan kehidupan setelah meninggal.

c. Millenarisme, Kepercayaan terhadap punden berundak.
Candi-candi di gunung Penanggungan (yang seluruhnya ada 80 candi) dibangun dengan “menempelkan” bagian belakang candi ke lereng gunung. Jadi, candi hanya bisa dilihat dari depan. Di bagian tengah candi terdapat tangga naik. Mirip Punden Berundak. Candi dibangun berteras-teras. Biasanya 2-3 teras. Di puncak teras, tepat ditengah-tengah terdapat sebuah altar. Bahkan, ada pula candi yang dihias dengan relief-relief cerita Panji dan dilengkapi dengan Goa-Goa Pertapaan, seperti Candi Kendalisodo yang merupakan Masterpiece candi di Gunung Penanggungan.

d.       Batu Pokekea
Wilayah behoa merupakan tempat menancapnya situs megalit pokekea, yang berada di Sulawesi Tengah, kabupeten poso, lore tengah dan dikenal dengan ngamba behoa. Jarak antara behoa dengan kota poso ±100 km. Batu purba ini berada pada ketinggian 200 km dari permukaan laut. Pokekea merupakan cagar budaya di sulawesi tengah yang masih menyimpan misteri tentang sejarah peradaban di behoa, Batu-batu yang digunakan di situs megalith pokekea di perkirakan sudah berumur 2000 tahun. Situs ini merupakan salah satu cagar budaya (Archa), peninggalan nenek moyang tobehoa pada zaman prasejarah. Hal ini nyata, dimana memperlihatkan bentuk kehidupan masyarakat  pada zaman megalitikum yang penuh dengan mitos pada konon masyarakat behoa. Dari sekian banyaknya patung, ada yang bernama patung Tadulako. Patung ini berada di lembah Besoa, Desa Doda, Lore Tengah, Sulawesi Tengah. Tadulako artinya panglima perang. Batu ini tingginya sekitar 2 meter, berbentuk agak lonjong, dengan gambaran wajah dan mata agak miring. Karena tidak diketahui asal-usulnya, penduduk setempat menciptakan beberapa legenda tentang arca ini. Konon, arca ini  adalah seorang panglima perang. Karena suatu kesalahan, ia dikutuk menjadi batu.
e.       Dolmen
Domen ini merupakan sebuah media atau peralatan yang dipergunakan untuk mengadakan upacara pemujaan terhadap roh nenek moyang. Pada umumnya, Dolmen terbuat dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu.



ZAMAN LOGAM

Mengapa dinamakan zaman logam? Karena pada zaman ini, manusia yang hidup pada zaman tersebut telah menghasilkan peralatn dari logam. Hal tersebut dapat dilihat melalui sisa-sisa kerangka manusia yang ditemukan di berbagai tempat, seperti di daerah Anyer Lor ( Jawa Barat ), Puger ( Jawa Timur ), Gilimanuk ( Bali ), dan Melolo ( Sumba). Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti pembuatan benda-benda dari logam. Namun, tidak semua orang pada zaman ini ahli dalam membuat logam. Muncullah golongan undagi (golongan yang terampil dalam melakukan suatu jenis usaha). 
Zaman logam dibagi menjadi 3 babakan, yakni:

1. ZAMAN TEMBAGA

Pada zaman tembaga, manusia baru mengenal peralatan dari logam. Namun, peralatan dari tembaga ini tidak ditemukan di Indonesia. Peralatan yang terbuat dari tembaga ini berkembang di Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam.

2. ZAMAN PERUNGGU

Munculnya kepandaian mempergunakan bahan logam, tentu dikuti dengan kemahiran teknologi yang disebut perundagian, karena logam tidak dapat dipukul-pukul atau dipecah seperti batu untuk mendapatkan alat yang dikehendaki, melainkan harus dilebur terlebih dahulu baru kemudian dicetak.
Teknik pembuatan alat-alat perunggu pada zaman prasejarah terdiri dari 2 cara yaitu:

a. Teknik a cire perdue atau cetakan lilin, caranya adalah membuat bentuk benda yang dikehendaki dengan lilin, setelah membuat model dari lilin maka ditutup dengan menggunakan tanah, dan dibuat lubang dari atas dan bawah. Setelah itu dibakar, sehingga lilin yang terbungkus dengan tanah akan mencair, dan keluar melalui lubang bagian bawah. Untuk selanjutnya melalui lubang bagian atas dimasukkan cairan perunggu, dan apabila sudah dingin, cetakan tersebut dipecah sehingga keluarlah benda yang dikehendaki.


b. Teknik bivalve atau setangkap, caranya yaitu menggunakan cetakan yang ditangkupkan dan dapat dibuka, sehingga setelah dingin cetakan tersebut dapat dibuka, maka keluarlah benda yang dikehendaki. Cetakan tersebut terbuat dari batu ataupun kayu.

Peralatan yang dihasilkan pada zaman perunggu, sebagai berikut:
a. Kapak Corong
Pada dasarnya bentuk bagian tajamnya kapak corong tidak jauh berbeda dengan kapak batu, hanya bagian tangkainya yang berbentuk corong. Corong tersebut dipakai untuk tempat tangkai kayu .
Kapak corong disebut juga kapak sepatu, karena seolah-olah kapak disamakan dengan sepatu dan tangkai kayunya disamakan dengan kaki.

b. Candrasa
Bentuk candrasa hampir mirip dengan kapak corong, tetapi panjang di salah satu sisinya. Candrasa dianggap sebagai tanda kebesaran kepala suku pada saat upacara.



c. Nekara

Nekara adalah benda yang mirip dengan genderang besar, seperti dandang (tempat menanak nasi dalam bahasa Jawa) yang terbalik. Di daerah asalnya Dongson, pemilikan nekara merupakan simbol status, sehingga apabila pemilikya meninggal, maka dibuatlah nekara tiruan yang kecil yang dipakai sebagai bekal kubur. Sedangkan di Indonesia nekara hanya dipergunakan waktu upacara-upacara saja antara lain ditabuh untuk memanggil arwah/roh nenek moyang, dipakai sebagai genderang perang dan dipakai sebagai alat memanggil hujan. Daerah penemuan Nekara di Indonesia antara lain, pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Bali, Pulau Sumbawa, Pulau Sangean, Pulau Roti dan pulau Kei serta pulau Selayar.
Adapun moko, yaitu nekara dengan ukuran kecil dan lebih ramping.

d.  Arca Perunggu
Arca perunggu/patung yang berkembang pada zaman logam memiliki bentuk beranekaragam, ada yang berbentuk manusia, ada juga yang berbentuk binatang. Pada umumnya arca perunggu bentuknya kecil-kecil dan dilengkapi cincin pada bagian atasnya. Adapun fungsi dari cincin tersebut sebagai alat untuk menggantungkan arca itu sehingga tidak mustahil arca perunggu yang kecil dipergunakan sebagai Liontin/bandul kalung. Daerah penemuan arca perunggu di Indonesia adalah Bangkinang (Riau), Palembang (Sumsel) dan Limbangan (Bogor).



e. Bejana Perunggu
Bejana perunggu di Indonesia ditemukan di tepi Danau Kerinci (Sumatera) dan Madura, yang bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng. Kedua bejana yang ditemukan mempunyai hiasan yang serupa dan sangat indah berupa gambar-gambar geometri dan pilin-pilin yang mirip huruf J. Hingga kini, fungsi bejana perunggu tidak diketahui secara pasti, kemungkinan disebabkan penemuan bejana yang terbatas maka mempersulit penyelidikan tentang fungsi bejana dalam kehidupan masyarakat prasejarah.


f. Perhiasan dari perunggu
Jenis perhiasan dari perunggu yang ditemukan sangat beragam bentuknya yaitu seperti kalung, gelang tangan dan kaki, bandul kalung dan cincin. Di antara bentuk perhiasan tersebut terdapat cincin yang ukurannya kecil sekali, bahkan lebih kecil dari lingkaran jari anak-anak. Untuk itu para ahli menduga fungsinya sebagai alat tukar (mata uang).
Daerah penemuan perhiasan perunggu di Indonesia adalah Bogor, Malang dan Bali.

3. ZAMAN BESI

Pada zaman besi, manusia telah dapat melebur besi untuk dituang menjadi alat-alat yang dibutuhkan, pada masa ini di Indonesia tidak banyak ditemukan alat-alat yang terbuat dari besi.
Alat-alat yang ditemukan adalah Mata kapak, yang dikaitkan pada tangkai dari kayu, berfungsi untuk membelah kayu. Mata Sabit, digunakan untuk menyabit tumbuh-tumbuhan;  Mata pisau; Mata pedang; Cangkul, dll.

Jenis-jenis benda tersebut banyak ditemukan di Gunung Kidul (Yogyakarta), Bogor, Besuki dan Punung (Jawa Timur). Akan tetapi hasil kebudayaan dari jaman besi yang diketemukan di Indonesia sangat sedikit. Tidak terlalu banyak seperti peninggalan kebudayaan perunggu maupun dari jaman batu. Hal ini dikarenakan sifat besi yang mudah berkarat.


UNIK! 

Temuan dari Indonesia Masuk 10 Terobosan Besar Ilmu Pengetahuan Tahun 2014

Penemuan dari Indonesia itu adalah lukisan tertua di dunia di Leang Timpuseng, kawasan karst Maros, Sulawesi. Publikasi di jurnal Nature pada 9 Oktober 2014 lalu menyatakan bahwa lukisan itu adalah stensil tangan tertua di dunia. 

Baca selanjutnya di sini


---------------------------------- Terima Kasih :) -------------------------------------------

Sources:
Alfian, Magdalia. 2007. Sejarah: untuk SMA dan MA Kelas X. Jakarta: ESIS