ZAMAN BATU
Zaman batu dimulai kurang lebih pada tahun 590.000 SM. Peralatan yang digunakan oleh manusia pada zaman ini terbuat dari batu. Itulah sebabnya zaman ini disebut zaman batu. Zaman batu dibagi menjadi 4. Berikut urutannya dan peninggalan-peninggalan dari zaman batu :
1. PALEOTHIKUM ( ZAMAN BATU TUA)
Kapak Perimbas yang pertama kali ditemukan oleh Von
Koenigswald di Pacitan, pada tahun 1935. Selain di Pacitan, kapak perimbas juga
ditemukan di beberapa daerah di Indonesia lainnya, seperti di Sukabumi (Jawa
Barat), Gombong (Jawa Tengah), Lampung, dan Bali.
Pithecantropus Erectus (phitecos = kera, Antropus Manusia,
Erectus berjalan tegak) ditemukan di daerah Trinil, pinggir Bengawan Solo,
dekat Ngawi, tahun 1891 adalah manusia purba yang hidup di zaman Paleothikum,
manusia pada zaman ini hidup dengan berburu dan meramu (food gathering). Laki-laki
memburu hewan untuk dijadikan makanan, dan perempuan yang mengolahnya menjadi
makanan. Fosil lainnya yang ditemukan adalah Pithecanthropus Majokertensis (foto sebelah kanan),
ditemukan di daerah Mojokerto dan Pithecantropus Soloensis ditemukan di Solo.
2. MESOZOIKUM ( ZAMAN BATU TENGAH MADYA )
Ilustrasi gambar di atas menggambarkan manusia yang hidup di
zaman mesozoikum berburu makanan, sama seperti kebiasaan manusia pada zaman
sebelumnya, paleothikum.
Ilustrasi di atas menggambarkan manusia pada zaman mesozoikum tinggal di gua-gua atau yang biasa disebut dengan Abris Sous Roche.
Mata panah biasa disebut pipisan. Pipisan adalah salah satu
alat yang digunakan oleh manusia pada zaman mesolithikum. Pipisan ini digunakan
untuk mengupas makanan dan menghaluskan cat merah (berasal dari tanah merah).
3. NEOLITHIKUM ( ZAMAN BATU MUDA)
Neolithikum merupakan suatu masa di mana alat-alat kehidupan manusia dibuat dari batu yang sudah dihaluskan, serta bentuknya lebih sempurna dari zaman sebelumnya. Gambar yang sebelah kiri merupakan gambar dari kapak persegi yang terbuat dari batu kalsedon. Gambar yang sebelah kanan merupakan gambar dari kapak lonjong yang juga terbuat dari batu. Kapak lonjong berukuran besar dinamakan walzenbeil, sedangkan yang berukuran kecil dinamakan kleibeil.
Pada zaman neolithikum, manusia yang hidup pada zaman tersebut hidup dengan tidak lagi terlalu sering berpindah tempat tinggal atau yang biasa disebut semi-sedenter ( mulai menetap ). Tetapi kebanyakan dari mereka masih bertahan hidup di dekat sungai atau laut sebagai sumber air. Mereka hidup dengan berkelompok yang terdiri dari banyak keluarga.
4. MEGALITHIKUM ( ZAMAN BATU BESAR )
Megalitikum merupakan kebudayaan yang menghasilkan
bangunan-bangunan monumental yang terbuat dari batu-batu besar. Bangunan
megalitikum ini dipergunakan sebagai sarana untuk menghormati dan pemujaan
terhadap roh-roh nenek moyang. Peninggalan megalitikum hampir menyebar di
seluruh wilayah nusantara, bahkan sampai sekarang pun masih ditemukan tradisi
megalitikum seperti di Pulau Nias, Sumba, Flores, dan Toraja. Hasil-hasil
kebudayaan zaman batu besar adalah sebagai berikut:
a. Menhir
Istilah menhir diambil dari bahasa Keltik dari kata men (batu) dan hir
(panjang). Menhir biasanya didirikan secara tunggal atau berkelompok sejajar di
atas tanah. Diperkirakan benda prasejarah ini didirikan oleh manusia prasejarah
untuk melambangkan phallus, yakni simbol kesuburan untuk bumi. Menhir adalah
batu yang serupa dengan dolmen dan cromlech, merupakan batuan dari periode
Neolitikum yang umum ditemukan di Perancis, Inggris, Irlandia, Spanyol dan
Italia. Batu-batu ini dinamakan juga megalith (batu besar) dikarenakan
ukurannya. Mega dalam bahasa Yunani artinya besar dan lith berarti batu. Para
arkeolog mempercayai bahwa situs ini digunakan untuk tujuan religius dan
memiliki makna simbolis sebagai sarana penyembahan arwah nenek moyang. Tak
hanya di luar negeri, Indonesia juga bisa ditemukan menhir, beberapa
diantaranya adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk menhir, Bangunan menhir yang dibuat oleh
masyarakat prasejarah tidak berpedoman kepada satu bentuk saja karena bangunan
menhir ditujukan untuk penghormatan terhadap roh nenek moyang.
b.
Punden Berundak-undak
Kata "punden" (atau pundian) berasal dari bahasa Jawa. Kata
pepunden yang berarti "objek-objek pemujaan" mirip pengertiannya
dengan konsep kabuyutan pada masyarakat Sunda. Dalam punden berundak, konsep
dasar yang dipegang adalah para leluhur atau pihak yang dipuja berada pada
tempat-tempat tinggi (biasanya puncak gunung). Istilah punden berundak
menegaskan fungsi pemujaan atau penghormatan atas leluhur, tidak semata
struktur dasar tata ruangnya. Punden berundak atau teras berundak adalah
struktur tata ruang bangunan yang berupa teras atau trap berganda yang mengarah
pada satu titik dengan tiap teras semakin tinggi posisinya. Struktur ini kerap
ditemukan pada situs kepurbakalaan di Nusantara, sehingga dianggap sebagai
salah satu ciri kebudayaan asli Nusantara. Struktur dasar punden berundak
ditemukan pada situs-situs purbakala dari periode kebudayaan Megalit-Neolitikum
pra-Hindu-Buddha masyarakat Austronesia, meskipun ternyata juga dipakai pada
bangunan-bangunan dari periode selanjutnya, bahkan sampai periode Islam masuk
di Nusantara. Punden Berundak pada zaman megalitik selalu bertingkat tiga yang
mempunyai makna tersendiri. Tingkat pertama melambangkan kehidupan saat masih
dikandungan ibu, tingkat kedua melambangkan kehidupan didunia dan tingkat
ketiga melambangkan kehidupan setelah meninggal.
c. Millenarisme, Kepercayaan terhadap punden berundak.
Candi-candi di gunung Penanggungan (yang seluruhnya ada 80 candi) dibangun dengan “menempelkan” bagian
belakang candi ke lereng gunung. Jadi, candi hanya bisa dilihat dari depan. Di bagian tengah candi terdapat
tangga naik. Mirip Punden
Berundak. Candi dibangun berteras-teras. Biasanya 2-3 teras. Di puncak teras,
tepat ditengah-tengah terdapat sebuah altar. Bahkan, ada pula candi yang
dihias dengan relief-relief cerita Panji dan dilengkapi dengan Goa-Goa
Pertapaan, seperti Candi Kendalisodo yang merupakan Masterpiece candi di Gunung
Penanggungan.
d.
Batu Pokekea
Wilayah behoa merupakan tempat menancapnya situs megalit pokekea,
yang berada di Sulawesi Tengah, kabupeten poso, lore tengah dan dikenal dengan
ngamba behoa. Jarak antara behoa dengan kota poso ±100 km. Batu purba ini
berada pada ketinggian 200 km dari permukaan laut. Pokekea merupakan cagar
budaya di sulawesi tengah yang masih menyimpan misteri tentang sejarah
peradaban di behoa, Batu-batu yang digunakan di situs megalith pokekea di
perkirakan sudah berumur 2000 tahun. Situs ini merupakan salah satu cagar
budaya (Archa), peninggalan nenek moyang tobehoa pada zaman prasejarah. Hal ini
nyata, dimana memperlihatkan bentuk kehidupan masyarakat pada zaman megalitikum yang penuh dengan
mitos pada konon masyarakat behoa. Dari sekian banyaknya patung, ada yang
bernama patung Tadulako. Patung ini berada di lembah Besoa, Desa Doda, Lore
Tengah, Sulawesi Tengah. Tadulako artinya panglima perang. Batu ini tingginya sekitar 2 meter, berbentuk
agak lonjong, dengan gambaran wajah dan mata agak miring. Karena tidak
diketahui asal-usulnya, penduduk setempat menciptakan beberapa legenda tentang
arca ini. Konon, arca ini adalah seorang
panglima perang. Karena suatu kesalahan, ia dikutuk menjadi batu.
e.
Dolmen
Domen ini merupakan sebuah media atau peralatan yang dipergunakan
untuk mengadakan upacara pemujaan terhadap roh nenek moyang. Pada umumnya,
Dolmen terbuat dari batu yang berfungsi sebagai tempat meletakkan saji-sajian
untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen dipakai untuk meletakkan mayat, agar
mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh binatang buas maka kaki mejanya
diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh batu.
ZAMAN LOGAM
Mengapa dinamakan zaman logam? Karena pada zaman ini,
manusia yang hidup pada zaman tersebut telah menghasilkan peralatn dari logam.
Hal tersebut dapat dilihat melalui sisa-sisa kerangka manusia yang ditemukan di
berbagai tempat, seperti di daerah Anyer Lor ( Jawa Barat ), Puger ( Jawa Timur
), Gilimanuk ( Bali ), dan Melolo ( Sumba). Berbagai upaya dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti pembuatan benda-benda dari logam. Namun, tidak
semua orang pada zaman ini ahli dalam membuat logam. Muncullah golongan undagi
(golongan yang terampil dalam melakukan suatu jenis usaha).
Zaman logam dibagi menjadi 3 babakan, yakni:
1. ZAMAN
TEMBAGA
Pada
zaman tembaga, manusia baru mengenal peralatan dari logam. Namun, peralatan
dari tembaga ini tidak ditemukan di Indonesia. Peralatan yang terbuat dari
tembaga ini berkembang di Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam.
2. ZAMAN PERUNGGU
Munculnya kepandaian mempergunakan bahan logam, tentu dikuti
dengan kemahiran teknologi yang disebut perundagian, karena logam tidak dapat
dipukul-pukul atau dipecah seperti batu untuk mendapatkan alat yang
dikehendaki, melainkan harus dilebur terlebih dahulu baru kemudian dicetak.
Teknik pembuatan alat-alat perunggu pada zaman prasejarah
terdiri dari 2 cara yaitu:
a. Teknik a cire perdue atau cetakan lilin,
caranya adalah membuat bentuk benda yang dikehendaki dengan lilin, setelah
membuat model dari lilin maka ditutup dengan menggunakan tanah, dan dibuat
lubang dari atas dan bawah. Setelah itu dibakar, sehingga lilin yang terbungkus
dengan tanah akan mencair, dan keluar melalui lubang bagian bawah. Untuk
selanjutnya melalui lubang bagian atas dimasukkan cairan perunggu, dan apabila
sudah dingin, cetakan tersebut dipecah sehingga keluarlah benda yang
dikehendaki.
b. Teknik bivalve atau setangkap, caranya
yaitu menggunakan cetakan yang ditangkupkan dan dapat dibuka, sehingga setelah
dingin cetakan tersebut dapat dibuka, maka keluarlah benda yang dikehendaki.
Cetakan tersebut terbuat dari batu ataupun kayu.
Peralatan yang dihasilkan pada zaman perunggu, sebagai
berikut:
Pada dasarnya bentuk bagian tajamnya kapak corong tidak jauh
berbeda dengan kapak batu, hanya bagian tangkainya yang berbentuk corong.
Corong tersebut dipakai untuk tempat tangkai kayu .
Bentuk candrasa hampir mirip dengan kapak corong, tetapi
panjang di salah satu sisinya. Candrasa dianggap sebagai tanda kebesaran kepala
suku pada saat upacara.
c. Nekara
Arca perunggu/patung yang berkembang pada zaman logam
memiliki bentuk beranekaragam, ada yang berbentuk manusia, ada juga yang
berbentuk binatang. Pada umumnya arca perunggu bentuknya kecil-kecil dan
dilengkapi cincin pada bagian atasnya. Adapun fungsi dari cincin tersebut
sebagai alat untuk menggantungkan arca itu sehingga tidak mustahil arca
perunggu yang kecil dipergunakan sebagai Liontin/bandul kalung. Daerah penemuan
arca perunggu di Indonesia adalah Bangkinang (Riau), Palembang (Sumsel) dan
Limbangan (Bogor).
e.
Bejana Perunggu
Bejana perunggu di Indonesia ditemukan di tepi Danau Kerinci
(Sumatera) dan Madura, yang bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan
gepeng. Kedua bejana yang ditemukan mempunyai hiasan yang serupa dan sangat
indah berupa gambar-gambar geometri dan pilin-pilin yang mirip huruf J. Hingga
kini, fungsi bejana perunggu tidak diketahui secara pasti, kemungkinan
disebabkan penemuan bejana yang terbatas maka mempersulit penyelidikan tentang
fungsi bejana dalam kehidupan masyarakat prasejarah.
Daerah penemuan perhiasan perunggu di Indonesia adalah
Bogor, Malang dan Bali.
3. ZAMAN BESI
Alat-alat yang ditemukan adalah Mata kapak, yang dikaitkan
pada tangkai dari kayu, berfungsi untuk membelah kayu. Mata Sabit, digunakan
untuk menyabit tumbuh-tumbuhan; Mata
pisau; Mata pedang; Cangkul, dll.
UNIK!
Temuan dari Indonesia Masuk 10 Terobosan Besar Ilmu Pengetahuan Tahun 2014
Penemuan dari Indonesia itu adalah lukisan tertua di dunia di Leang Timpuseng, kawasan karst Maros, Sulawesi. Publikasi di jurnal Nature pada 9 Oktober 2014 lalu menyatakan bahwa lukisan itu adalah stensil tangan tertua di dunia.
Baca selanjutnya di sini
Sources:
Alfian, Magdalia. 2007. Sejarah: untuk SMA dan MA Kelas X.
Jakarta: ESIS
nuni semangat yaa belajarnyaaa!!
BalasHapusMakkassii kakaniniiie <3
Hapus